Kamis, 07 Oktober 2010

Pola Makan ala Nabi SAW

Jenis Makanan

Rupanya tanpa kita sadari, dalam makanan yang kita makan sehari-hari, kita tak boleh sembarangan. Hal inilah penyebab terjadinya berbagai penyakit antara lain penyakit kencing manis, lumpuh, sakit jantung, keracunan makanan dan lain2 penyakit. Rasulullah SAW pernah bersabda: “Perut adalah sumber penyakit dan pengaturan makanan[1] adalah obatnya yang mujarab.” Apabila anda telah mengetahui ilmu ini, tolonglah ajarkan kepada yg lain.

Ini adalah cara Rasullulah SAW menjaga hidup sehat melalui kegiatan makan. Ustaz Abdullah Mahmood mengungkapkan, Rasullulah tak pernah sakit perut sepanjang hayatnya karena pandai menjaga makanannya sehari-hari. Insya Allah kalau anda ikut cara Rasullullah ini, anda takkan menderita sakit perut ataupun keracunan makanan.

Perhatikanlah anjuran berikut ini:

Jangan makan SUSU bersama DAGING

Jangan makan DAGING bersama IKAN (Penjelasannya: daging ayam mengandung ion+ , sedangan ikan mengandung ion-, jika dalam makanan kita ayam bercampur dengan ikan maka akan terjadi reaksi biokimia yang akan dapat merusak usus kita).

Jangan makan IKAN bersama SUSU

Jangan makan AYAM bersama SUSU

Jangan makan IKAN bersama TELUR

Jangan makan IKAN bersama DAUN SALAD

Jangan makan SUSU bersama CUKA

Jangan makan BUAH bersama SUSU (Contoh cocktail): Penjelasannya akan terjadi penggumpalan, kecuali dengan buah-buahan yang mengandung lemak lagi seperti alpukat, duren, kelapa dll)

Cara Makan

* Jangan makan buah setelah makan nasi (akan terjadi fermentasi dalam perut/tubuh, menjadi gas dan kemudian perut menjadi kembung).
* Sebaliknya makanlah buah terlebih dahulu, baru makan nasi (zat buah-buahan akan memperlancar pencernaan makanan).
* Tidur 1 jam setelah makan tengah hari.
* Jangan sesekali ketinggalan makan malam. Barang siapa yg tinggal makan malam dia akan dimakan usia dan kolesterol dalam badan akan berganda.

(Anjuran ini sama dengan konsep food combination)

Nampak memang sulit, tapi kalau tak percaya… cobalah….

Pengaruhnya tidak dalam jangka pendek….

Akan berpengaruh bila kita sudah tua nanti.

* Nabi melarang kita makan makanan darat bercampur dengan makanan laut. Nabi pernah mencegah kita makan ikan bersama susu karena akan cepat mendapat penyakit. Ini terbukti oleh ilmuwan yang menemukan bahwa dalam

* Al-Quran Juga mengajarkan kita menjaga kesehatan spt membuat amalan Antara ain:

* Mandi Pagi sebelum subuh, sekurang kurangnya sejam sebelum matahari terbit. Air sejuk yang meresap kedalam badan dapat mengurangi penimbunan lemak. Kita boleh saksikan orang yang biasa mandi pagi kebanyakan badan tak gemuk.

* Rasulullah mengamalkan minum segelas air sejuk (bukan air es) setiap pagi. Mujarabnya Insya Allah jauh dari penyakit (susah mendapat sakit).

* Waktu shalat subuh disunatkan kita bertafakur (dengan sujud sekurang kurangnya satu menit setelah membaca doa). Kita akan terhindar dari sakit kepala atau migrain. Ini terbukti oleh para ilmuwan yang membuat kajian kenapa dalam sehari perlu kita sujud. Ahli-ahli sains telah menemui beberapa milimeter ruang udara dalam saluran darah di kepala yg tidak dipenuhi darah, dengan bersujud maka darah akan mengalir ke ruang tersebut.

* Nabi juga mengajar kita makan dengan tangan dan bila habis hendaklah menjilat jari. Begitu juga saintis telah menemukan bahwa enzyme banyak terkandung di celah jari-jari, yaitu 10 kali lipat terdapat dalam air liur (enzyme sejenis alat percerna makanan)

Wassalam…

Mari bersama-sama kita mengamalkannya …

WallahuA’lam

Sabda Nabi:

Ilmu itu milik Allah, barang siapa menyebarkan ilmu demi kebaikan, Insya Allah… Allah akan menggandakan 10 kali kepadanya.
[1] Yaitu puasa, menjaga keseimbangan jenis makanan, mengontrol nafsu terhadap makanan, tidak mengutamakan selera dll.

Selasa, 05 Oktober 2010

KEKUATAN MOTIVASI

Zig Ziglar seorang motivational speaker yang ternama, suatu waktu pernah dihampiri seorang pria dan dikritik. Pria itu berkata, "Kalian para pembicara motivasi hanya bisa datang memompa semangat dan memotivasi orang dan kemudian kalian tinggalkan dan tidak lama motivasi itu juga hilang dengan sendrinya" Namun Zig Ziglar menjawab dengan luar biasa, "Bukankah itu juga terjadi setelah kita mandi biasanya tidak lama kemudian kita menjadi kotor lagi, dan kita berpikir merupakan hal yang baik untuk tetap mandi setiap hari."

Saya sangat setuju akan hal ini bahwa motivasi tidaklah selalu bertahan selamanya. Bagaimanapun juga kita harus memperbaharuinya setiap hari. Mengikuti seminar motivasi bukanlah hal yang buruk, namun kita harus menyadari bahwa pembicara motivasi tidaklah selalu mendampingi dan menyemangati Anda. Jika Anda ingin tetap termotivasi setiap saat maka kita yang bertanggung jawab untuk menciptakan motivasi itu. Filsuf Yunani, Socrates berkata, "Untuk menggerakan dunia kita harus lebih dahulu menggerakan diri kita sendiri."

Marilah kita melihat apa yang bisa dilakukan suatu kekuatan motivasi:

1. Motivasi adalah langkah pertama ke arah pencapaian
Motivasi adalah kunci yang membuka pintu untuk menuju pencapaian Anda. Motivasi adalah apa yang membuat Anda mulai melangkah, sedangkan komitmen adalah apa yang membuat Anda terus melangkah. Sekelompok team sales yang dimotivasi biasanya pencapaiannya lebih tinggi dibanding para sales yang hanya dibiarkan jalan sendiri. Seorang pelajar yang memiliki motivasi belajar tentu lebih baik dibanding tidak memiliki motivasi.

2. Motivasi meningkatkan kemauan
Orang biasanya gagal bukan karena kurang kemampuan atau kurang pengetahuan, melainkan biasanya karena kurang kemauan. Dengan adanya motivasi dalam diri seseorang maka kemauan seseorang dapat ditingkatkan. Orang-orang yang cukup termotivasi biasanya akan menemukan kekuatan kemauan muncul dalam diri mereka.

3. Motivasi memberikan tenaga ekstra
Kita sering menyebut orang lain bertenaga tinggi atau bertenaga rendah berdasarkan seberapa banyaknya hal yang mereka lakukan. Menurut saya mungkin lebih tepat jika kita menyebutkan mereka mempunyai motivasi tinggi atau motivasi rendah. Jika Anda mempunyai motivasi, Anda pasti mempunyai tenaga ekstra. Motivasi memberi Anda kekuatan untuk melakukan banyak hal. Motivasi adalah alasan mengapa selalu ada hal-hal yang saya ingin kerjakan, orang-orang yang saya ingin temui, dan sasaran-sasaran yang ingin saya capai.

4. Motivasi adalah dasar untuk keunggulan
Motivasi bisa mengubahkan seseorang dari keadaan biasa-biasa menjadi unggul. Pemimpin hak asasi manusia, Marthin Luther King Jr. menegaskan, "Jika seseorang belum menemukan sesuatu yang untuknya ia mau mati, ia tidak layak untuk hidup." Saat anda menemukan tujuan hidup Anda, Anda menemukan motivasi. Dan saat Anda menemukan motivasi, Anda bisa mencapai keunggulan.

5. Motivasi adalah kunci menuju keberhasilan
Saya membaca tentang dua ratus eksekutif yang ditanya tentang apa yang menjadikan orang berhasil. Kualitas nomor satu yang mereka sebutkan bukanlah skill melainkan antusiasme, dan sebagian besar dari mereka mengakui bahwa perlu ada suatu api motivasi dalam diri manusia untuk mencapai keberhasilan.

Selasa, 28 September 2010

Encouragement

Encouragement
Oleh: Rhenald Kasali *

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah
tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.

Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah
diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal
dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia
tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan
kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya
sangat sederhana.

Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya karangan itulah
yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah
dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan
kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak
saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya
bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?” “Dari Indonesia,” jawab saya. Dia pun
tersenyum.

Budaya Menghukum

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah
saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. “Saya
mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik
itu.

“Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anakanaknya dididik di
sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi
kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang
agar maju. Encouragement!” Dia pun melanjutkan argumentasinya.

“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbedabeda. Namun untuk anak
sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris,
saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan
berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur
prestasi orang lain menurut ukuran kita.Saya teringat betapa mudahnya saya
menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga
doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik
ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian
program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap.
Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan
penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan
begitu mereka tahu jawabannya.

Mereka menunjukkan grafikgrafik yang saya buat dan menerangkan
seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji,
menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.
Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan.
Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang
duduk di bangku ujian.

Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan,
penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakanakan
kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang
luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat
saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan
discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan
pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata
belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.

Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru
di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana
mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah
Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan
karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke
pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya.

“Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang
sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat
dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya
tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk
bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia
mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang
berarti.

Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup
keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi
penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yang
berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya
melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

Melahirkan Kehebatan

Bisakah kita mencetak orangorang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan
rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta
ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan
penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,sundutan rokok, dan
seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...;
Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas
kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih
disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan
mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan
otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau
sebaliknya,dapat tumbuh.Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan
(dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian
kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering
saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh. Mari
kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau
ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi
ancaman yang menakut-nakuti. (*)

*) Rhenald Kasali, Ketua Program MM UI

Rabu, 25 Agustus 2010

Selasa, 20 April 2010

Nasehat bagi penuntut Ilmu untuk menetapi kebenaran dan kesabaran

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan Abdul Hamid Al-Halabi
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan 2/2

Kalau disebutkan permasalahan ilmu maka harus pula disebutkan tentang pokok dan peringatan–peringatan yang berhubungan dengan masalah ini. Dalam hal ini, ada dua hal yang sangat penting :

[1]. Hendaknya Memiliki Semangat Yang Tinggi Dalam Menuntut Ilmu Dan Istiqomah
Karena kebanyakan manusia menyangka bahwa menuntut ilmu hanya terbatas pada selesainya masa belajar di sekolah, ma’had, universitas, atau markaz selama satu, dua atau lima tahun.

Ini adalah kesalahan yang fatal karena ilmu tidak akan berakhir kecuali dengan hilangnya ruh dari jasad, betapa banyak para salaf mengatakan : “Amat merugi apabila matahari terbit sedang aku tidak menambah ilmu’.

Lihatlah Imam Ahmad, beliau selalu membawa kertas dan pena-nya, kadang kala beliau mengajar, kadang pula belajar. Beliau adalah sosok yang ‘alim, tetapi masih menyempatkan diri untuk belajar pada orang lain. Pada suatu hari beliau membawa barang kebutuhannya, kemudian dikatakan : “Wahai Abu Abdillah, sampai kapankah engkau menuntut ilmu ?” Beliau menjawab : “Menuntut ilmu itu dari buaian sampai masuk ke liang lahat (beliau mengulanginya dua kali)”.

Terus–menerus dan istiqomah karena kebutuhan manusia terhadap ilmu jauh lebih besar dibandingkan kebutuhannya terhadap makanan dan minuman, bisa jadi kebutuhanmu terhadap makanan atau minuman dalam sehari cukup satu atau dua kali. Berbeda dengan kebutuhanmu terhadap ilmu, kadang engkau membutuhkannya sebanyak dua puluh kali, lima puluh kali, bahkan lebih dalam sehari. Di rumah engkau butuh ilmu, di pasar engkau butuh ilmu, bermu’amalah engkau butuh ilmu, bahkan ketika menghadapi musuhmu pun engkau butuh ilmu; semakin berkurangnya ilmu (akan menyebabkan) semakin bertambahnya kebodohan, kejelekan, serta musibah yang akan menimpamu.

[2]. Hendaknya Beradab Dalam Menuntut Ilmu
Ilmu itu butuh adab yang menyertainya dan sopan santun yang menjaganya, perilaku baik yang akan mengangkat derajatnya. Jangan sampai ilmu itu menyebabkan jeleknya adab, kemarahan, kekerasan dan kurang ajar terhadap sesama penuntut ilmu, lebih–lebih seorang murid dengan gurunya. Maka seorang murid wajib untuk beradab terhadap gurunya sekalipun ia mendapatkan kesalahan padanya dan sang murid menyangka bahwa dirinyalah yang benar, meski demikian hendaklah ia tetap menjaga adabnya baik dalam berkata, mengungkapnya dengan bahasa yang halus serta melembutkan perkataannya.

Demikian juga ketika mengkritik guru hendaknya dengan penuh adab sehingga gurunya mau kembali (kalau memang dia benar dan gurunya yang salah) sehingga ia dapat mengambil faedah di antara dua keadaan ini.

Al–Imam Asy–Syafi’i terkadang menjadi guru bagi Imam Ahmad dan di lain waktu beliau menjadi murid Imam Ahmad. Mereka berdua layaknya sahabat yang saling belajar dan mengajar satu dengan lainnya, serta saling mengambil faedah antara keduanya sampai–sampai Imam Syafi’i pernah berkata kepada Imam Ahmad : “Wahai Imam Ahmad, engkau lebih tahu tentang masalah hadits, jika engkau mendapati hadits shahih maka kabarkanlah kepadaku supaya kita mengetahuinya dan bisa mengamalkannya.”

Kadang kala beliau meminta Imam Ahmad agar mengajari beliau, sampai–sampai orang saat itu mengatakan kepada beliau bahwa Imam Ahmad mengunjungimu demikian pula sebaliknya. Kemudian beliau berkata : “Tempatku tidak membedakan kedudukan, jika dia mengunjungiku maka itu merupakan keutamaannya, dan jika aku mengunjunginya itu karena kemuliaannya.”

Inilah adab dalam berilmu yang seharusnya dimiliki oleh para penuntut ilmu sebagaimana yang telah diterapkan oleh para ulama, bukan seperti yang disangka sebagian manusia, padahal mereka baru mendapatkan sebagian ilmu atau baru mempelajari satu bab dari bab–bab ilmu lalu menyangka bahwa mereka telah mendapatkan dan menguasai seluruh ilmu dari awal hingga akhir, padahal merekalah orang yang paling bodoh–wal ‘iyadzu billah–jangan sampai keadaan kita seperti mereka.

Kalau mereka kehilangan adab dalam berilmu, maka lebih dari itu mereka kehilangan sesuatu yang paling penting dari arti sebuah ilmu.

Wahai saudaraku, Semoga Alloh meneguhkanmu, tidakkah engkau mengetahui sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam “Dua hal yang tidak akan berkumpul pada diri seorang munafik, yaitu baiknya adab dan faqih dalam masalah agama.” Tidaklah baik akhlaq ini kecuali dengan baiknya adab, lemah lembut dan sopan santun yang tinggi.

Orang itu kita ukur dari ilmu dan kedudukannya dalam meraih ilmu, dan bila keduanya hilang maka hampir–hampir cahaya ilmu itu lenyap dari dirinya, dan Alloh akan melenyapkan keutamaan ilmu dari dirinya sebagai balasan yang setimpal terhadap perbuatannya karena meremehkan ilmu, meremehkan ahlu ilmi baik dari kalangan sejawatnya, guru–gurunya atau yang lainnya.

Dan aku akan mempermisalkan antara ilmu dan adab sebagaimana keserasian antara ikhlas dan ittiba’. Antara ilmu dan adab bagaikan ruh dan jasad, maka tidak ada ruh kecuali dengan jasad dan dia tidak akan berfungsi kecuali dengan jasad, begitu pula jasad tidak akan bergerak kecuali dengan ruh. Jikalau permasalahan demikian (keterikatan ilmu dan adab) maka perlu kiranya diperhatikan masalah–masalah yang berkaitan dengan dua hal tadi, saya akan memaparkan beberapa contoh:

[a]. Lemah Lembut Dalam Penyampaian
Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam bersabda :

“Artinya : Tidaklah sikap lemah lembut ada pada sesuatu melainkan akan menghiasinya dan tidaklah sikap lemah lembut itu dicabut kecuali akan membuatnya menjadi jelek” [Hadits Riwayat. Muslim 2584, Abu Dawud 2477]

“Artinya : Sesungguhnya Alloh Maha Lemah Lembut lagi mencintai kelembutan dan Dia memberikan kelemah lembutan tidak seperti dia memberikan kekasaran” [Hadits Riwayat. Muslim 2593, bersumber dari Aisyah Radhiyallohu ‘anha]

Coba perhatikan kisah Mu’adz bin Jabal Radhiyaallohu ‘anhu tatkala beliau mengimami shalat jama’ah lalu beliau memanjangkan shalatnya yang menyebabkan salah satu makmum keluar, lalu sampailah berita tersebut kepada Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam maka beliau bersabda : “Sungguh ada golongan di antara kalian yang membuat manusia lari.”

Coba amatilah siapa mereka ?? Tidak sangsi lagi mereka adalah sahabat Rasulullah yang paling mulia, paling agung dan paling antusias dalam menapaki sunnah Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam mereka pula orang yang terbaik setelah para nabi dan rasul, lalu bagaimana dengan orang–orang selain mereka??

Oleh karena itu wajib atas para da’i untuk memiliki sikap lemah lembut dalam berdakwah dan memiliki adab baik dalam hal pembicaraan ataupun penyampaian. Jangan sampai tertipu oleh was–was syetan sehingga ia merasa bangga tatkala menggunakan kekerasan, ini semua termasuk tipu daya syetan. Bagaimana tidak ? Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam telah bersabda.

“Artinya : Dan tidaklah seseorang rendah hati karena Alloh akan mengangkat derajatnya” [Hadits Riwayat Muslim 2588, Tirmidzi 2029, Malik 1885, Ash–Shahihah 2328. bersumber dari Abu Hurairah]

[b]. Termasuk Perkara Ilmu (yakni) Masalah Khilafiyah.
Maka selayaknya bagi orang yang berselisih antara satu dengan yang lainya di dasari dengan ilmu (Al–Qur’an dan As–Sunah) dengan di barengi sikap lemah lembut, kasih sayang serta keinginan yang kuat dalam mencari kebenaran.

Alangkah indahnya apa yang telah di contohkan oleh Imam Syafi’i ketika beliau mengatakan :
“Tidaklah aku berdebat dengan seorangpun melainkan aku memohon kepada Alloh untuk menampakan kebenaran pada lisanya (lawan debatku)”

Disebutkan di dalam sebuah kitab, Imam Syafi’i berkata :
Tidaklah aku membantah seorangpun melainkan aku berharap ia di beri petunjuk, hidayah dan di beri pertolongan. [Lihat Faidhul Qadir 3/90 dan Shafwatush Shafwah 2/251]

Mengapa…Karena Rasullulah bersabda :

“Artinya : Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” [Hadits Riwayat Bukhari 13, Muslim 45 bersumber dari sahabat Anas]

Maka tatkala terjadi diskusi ataupun adu argumen dalam masalah fiqhiyah yang masih di perselisihkan di kalangan ulama, tidak selayaknya bagi seseorang di antara mereka mengatakan : “Sayalah yang menang dalam perdebatan ini” yang lain pun mengatakan : “Justru kamulah yang mubtadi’ karena kamu menyelisihi saya dan begitulah seterusnya ; mereka berdebat layaknya pegulat dan petinju yang sedang bertanding, seakan–akan kunci sunnah berada di tanganya dan terbatas pada golonganya.

Ini semua termasuk kebatilan yang sangat nampak dan tipu daya serta kesesatan yang nyata, akan tetapi tatkala perselisihan itu di kembalikan kepada para ulama yang mumpuni dan tahu betul mengenai permasalahan ini dengan detail niscaya akan terselesaikan dengan baik.

Namun lain halnya tatkala seseorang di ajak berdiskusi secara ilmiah, di sampaikan dalil–dalil di sertai sikap lemah lembut dan adab yang baik, tetapi dia masih bersikeras (keras kepala) dan sombong (tidak mau menerima kebenaran) maka ini merupakan pembahasan yang lain dan bukan sekarang waktu yang tepat untuk membahasnya ; karena kita masih dalam fase thalibil dan belum waktunya untuk berdebat, menegakan hujjah, serta membid’ahkan orang lain.

Pembantahan ini tersendiri dan pembahasan yang lain pun tersendiri pula (karena setiap tempat ada pembicaraanya dan setiap pembicaraan ada tempatnya, dengan kata lain proposional atau menempatkan sesuatu pada tempatnya dalam segala hal–pent).

Di antara hal–hal yang sangat disayangkan adalah timbulnya fitnah tabdi’ (memfonis seseorang sebagai ahli bid’ah) dan yang lebih parah lagi adalah munculnya berbagai macam tuduhan yang batil dalam rangka pembelaan dan mengalahkan serta meruntuhkan di dalam permasalahan khilafiyah di antara ahli fiqh pada masa dahulu dan masa kini, sebagaimana yang telah keluar dari lisan–lisan para pemuda yang terlalu bersemangat dan tergesa–gesa tanpa disertai ilmu dan adab serta kelemah lembutan.

Dan termasuk perkara yang paling parah dari hal di atas, timbulnya finah saling menghajr dan mentahdzir antar sesama dan bersikap loyal kepada orang–orang yang sepaham dengan dia berlepas diri terhadap orang–orang yang tidak sepaham dengan dia (dan di antara ucapan mereka sebagai berikut–pent) ; ’kamu jadi temanku jika kamu sepaham denganku, dan apabila tidak maka kamu jadi musuhku, kemudian saya akan terapkan wala’ wal bara’ kepadamu.

Sikap ini semua akibat jeleknya pemahaman, dangkalnya kefaqihan dan jauhnya dari taufiq Alloh.

Alangkah benarnya ucapan seseorang ; Apabila seseorang tidak mendapatkan pertolongan Alloh maka pasti pertama kali dia akan berhukum dengan ijtihadnya semata.

Maka kelompok–kelompok di atas muncul dari ijtihad mereka yang keliru dengan sangkaan itu semua adalah haq, padahal tidak ada benarnya sedikitpun.

Adakah di dalam sirah para ulama dan fuqaha ataupun keterangan–keterangan yang datang dari para ulama yang telah di akui keilmuanya, akan adanya permusuhan, hajr (pemboikotan, red) di dalam masalah fiqh serta permasalahan ilmiah yang lain, yang di situ masih diperselisihkan.

Bukankah umumnya kitab fiqh terdapat berbagai macam pendapat/ lalu mengapa kita jadikan permasalahan fiqh sebagai sarana untuk saling menjauhi, menghina, menghajr di antara kita. Wal’iyadzu billah.

Aduhai, alangkah indahnya jika hajr di barengi dengan hajr yang indah, lemah lembut, (agar ummat bisa mengambil pelajaran) sebagaimana firman Alloh.

“Artinya : ,Dan jauhilah mereka dengan cara yang baik” [Al–Muzzammil : 10]

Akan tetapi, hajr mereka sangat hina, jelek, menakutkan, buruk, kotor.

Dan sangat di sayangkan, hajr mereka di sertai dengan kedustaan, buruk sangka, sikap memecah belah, di sertai pula kebatilan dalam berbagai bentuk yang sangat jelek, seakan–akan pintu taubat, perdamaian, rujuk (kembali kepada alhaq) serta diskusi ilmiah telah tertutup baginya.

Sehingga kita dengar tuduhan mereka : “Kami bid’ahkan kamu ! Dan kami hajr kamu dan tidak ada pintu kembali bagi kamu kecuali kamu itui sama persis seperti kami, bagaikan lembaran foto copy : “Wal–‘iyadzu billah”

Beginikah akhlaqnya ulama ? Seperti inikah adabnya ahlu ilmi ? Jika saudaramu menyelesihi kamu maka berlaku lembutlah kepadanya dan nasehatilah dia serta tempatkanlah dirimu pada tempat yang semestinya.

Maka sekali lagi, apabila engkau berselisih dengan saudaramu maka datangilah dia supaya permasalahan itu menjadi baik, jelas dan gamblang. Akan tetapi, kami tetap berkeinginan keras hendaknya semua itu sesuai dengan kacamata Sunnah dan kami tetap berharap supaya Sunnah tidak dijadikan sarana untuk berpecah belah, saling menghajr, serta bermusuhan yang itu semua kita saksikan, dampak–dampak negatifnya berupa buruk sangka, kurang tabayyun (klarifikasi), perpecahan, berbicara sembarangan ; semua itu adalah sebuah realita yang sangat nampak di tengah masyarakat kita saat ini.

Sungguh sangat disesalkan, kadang kala ada kelompok yang sembilan puluh persen bersama kita, tetapi sepuluh persen bersama kita, tetapi sepuluh persen lainnya merusak. Mereka ingin menang sendiri, sehingga mereka menjauh. Mereka berusaha merusak yang lain, mengajak keluar, ingin mengambil alih kekuasaan yang bukan haknya dan menyuruh manusia agar jauh dari petunjuk, Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman :

“Artinya : Katakanlah : “Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang–orang yang paling merugi perbuatannya ?” Yaitu orang–orang yang telah sia–sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik–baiknya” [Al–Kahfi: 103–104]

Dan sebagian besar orang–orang yang memiliki sifat ini, jika memang mereka bertauhid, mengikuti Sunnah, dan penuntut ilmu–walaupun mereka menyelisihi dan mencerca–kita tidak menyerang mereka sebagaimana mereka menyerang kita, akan tetapi kita bersabar, mengharap balasan yang terbaik dan mendo ‘akan mereka serta mendekat kepada mereka.
Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman :

“Artinya : Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali–kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Alloh, Rabb seru sekalian alam” [Al – Ma’idah : 28]

Ini adalah akhlaq yang mulia dan bimbingan serta adab yang terpuji yang wajib kita miliki untuk mempergauli mereka sehingga mendekatkan kepada kebenaran. Kita tidak membuat mereka lari sebagaimana mereka membuat kita lari. Kita tidak menjauhi mereka sebagaimana mereka menjauhi kita. Kita tidak menuduh (memvonis) mereka sebagai ahli bid’ah sebagaimana mereka memvonis kita. Dan kita tidak menghajr sebagaimana mereka menghajr kita.

Alangkah indahnya wasiat Umar bin Khaththab Radhiyallohu ’anhu dan dengan ini saya menutup nasehat saya untuk pertemuan kali ini dengan perkataan beliau : “Tidak ada balasan yang terbaik bagi orang yang berbuat jelek kepada kamu, melainkan kamu membalasnya dengan hal yang lebih baik dari itu.”

[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 8 Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427H/April 2006. Dengan Judul Nasehat Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari Hafizhahullah. Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Maktabah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim 61153, Judul artikel oleh Redaksi Almanhaj]

Ilmu Sabar dan Tawakal

Dari Abu Al ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu anhu, ia berkata : Pada suatu hari saya pernah berada di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat : Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjaga kamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan mendapati Dia di hadapanmu. Jika kamu minta, mintalah kepada Allah. Jika kamu minta tolong, mintalah tolong juga kepada Allah. Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan kepadamu sesuatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang sudah Allah tetapkan untuk dirimu. Sekiranya mereka pun berkumpul untuk melakukan sesuatu yang membahayakan kamu, niscaya tidak akan membahayakan kamu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Segenap pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering." (HR. Tirmidzi, ia telah berkata : Hadits ini hasan, pada lafazh lain hasan shahih. Dalam riwayat selain Tirmidzi : “Hendaklah kamu selalu mengingat Allah, pasti kamu mendapati-Nya di hadapanmu. Hendaklah kamu mengingat Allah di waktu lapang (senang), niscaya Allah akan mengingat kamu di waktu sempit (susah). Ketahuilah bahwa apa yang semestinya tidak menimpa kamu, tidak akan menimpamu, dan apa yang semestinya menimpamu tidak akan terhindar darimu. Ketahuilah sesungguhnya kemenangan menyertai kesabaran dan sesungguhnya kesenangan menyertai kesusahan dan kesulitan”) [Tirmidzi no. 2516]

Ini kisah mungkin bukan kisah yang luar biasa dari sisi kehidupan manusia, namun ini memang terjadi! diantara kita, sekeliling kita atau bahkan mungkin kita sendiri yang mengalaminya. Sebuah perjuangan hidup, sebuah keputus-asaan, sebuah definisi dari kesabaran.
Sore itu dikala senja datang dengan lembayung menghiasi langit, seorang pemuda anak pertama dari tiga bersaudara menjadi tulang punggung keluarganya.

Pemuda itu baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas dengan hasil predikat sangat memuaskan. Dia menjadi anak kesayangan bapak dan ibu guru di sekolah karena prestasi yang dia raih, meskipun terkadang menjengkelkan para staf guru disekolahnya dengan kejailan dan ide-idenya yang kritis dalam mengkritik pengembangan ilmu.

Tersirat dalam hatinya untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, tapi di satu sisi lain masih ada kedua adiknya yang harus dia fikirkan. Inilah saat pertama kali pergejolakan terjadi. Namun, berkat dukungan sang bunda, yang sangat mementingkan pendidikan akhirnya pemuda itu mengambil keputusan untuk melanjutkan sekolahnya ke tingkat Universitas.

Setahun berlalu tak ada aral yang melintang, hingga suatu saat pemuda itu melihat ibunya sedang membawa sekantung besar yang ternyata isinya adalah tiada lain baju-baju, sprei, gelas-gelas dan piring. pemuda itu mengikutinya sampai dia melihat ternyata barang-barang itu dijualnya untuk mendapatkan lembar-lembar rupiah. Ketika sampai dirumah ditanyalah sang ibu, "darimana?" ibu itu dengan nada sedikit bergetar menjawab "dari warung, membeli sesuatu." kebohongan itu membuat pemuda itu menangis dan merangkul sang ibu dengan erat.

Ternyata selama satu tahun itu, untuk membiayai anak-anaknya sekolah sang ibu bekerja siang dan malam, menjual apa yang dia bisa jual, kebungkamannya semata-mata agar anak-anaknya selalu konsentrasi dengan belajarnya. Sungguh inilah kasih sayang ibu, yang takkan habis sepanjang jaman.

Singkat cerita akhirnya pemuda itu memutuskan untuk cuti dari kuliahnya dan bekerja untuk membantu keuangan keluarganya yang semakin hari semakin buruk. Pemuda itu bekerja di sebuah swalayan, sebagai staf gudang. Pergi pagi pulang malam, tak ada waktu baginya lagi untuk belajar, membaca buku apalagi untuk sekedar menonton TV.

Badannya mulai kurus, seperti tak pernah ada makanan yang masuk. Sang ibu berdoa dari setiap sujudnya tak pernah lelah dan tak pernah letih. Sebuah doa yang tulus untuk anak-anaknya "Ya Rabb, Tuhanku yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang. Engkau yang menguasai langit dan bumi, Engkau yang Maha bekehendak. Ya Allah, cukuplah diriku yang merasakan sakitnya menahan laparnya perut, cukuplah diriku yang merasakan pahitnya kehidupan, dan cukuplah diriku yang menaggung semua ini.

Jangan Kau biarkan anak-anakku merasakannya, berikanlah mereka selalu kebahagiaan, jangan kau biarkan senyum cerianya diwaktu kecil memudar setelah mengenal kehidupan....." Begitulah sepenggal doa dari seorang ibu yang begitu tulus dan sangat menyayangi anak-anaknya.

Satu tahun berlalu, kehidupan mulai terangkat dan akhirnya pemuda itu kembali kuliah dan mengambil kelas ekstensi atau kelas karyawan, namun keadaan mulai berbeda, dia sudah tak pintar lagi seperti dulu. fikirannya mulai terfokus untuk mencari uang, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Namun, dia tetap melanjutkan kuliahnya demi meraih impiannya menjadi seorang sarjana.

Kehidupan pemuda itu terus bergulir bak sebuah roda kehidupan. Suatu saat dia mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, menjadi seorang ekspedisi kendaraan besar yang bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah yang cukup lumayan untuk satu kali jalan. Mulai saat itu, rumah kecil itu terasa sinar kebahagiaan. Tak ada lagi raut muka sedih menahan lapar... Namun, saat itu pula ujian yang sesungguhnya dimulai.

Kebahagiaan itu tak bertahan lama, ujianpun datang terus menerus seolah tak pernah berhenti. Hingga akhirnya seorang pemuda yang sebentar lagi meraih gelar sarjana itupun menjadi seorang kuli panggul, seorang buruh bangunan hingga seolah-olah kehidupan sedang mempermainkannya. Tapi, pemuda itu tak pernah goyah.. semangatnya tak pernah luluh, dia yakin bahwa ini adalah kasih sayang Allah, dia yakin bahwa Allah sedang berbicara langsung kepadanya.

Detik-detik wisuda akan datang, saat-saat dia disyahkan menjadi seorang sarjana akan tiba, namun itu akan menjadi sebuah mimpi jika dalam waktu dekat dia tidak bisa melunasi biaya wisudanya. Pemuda itu hanya tinggal bisa berpasrah, menyerahkan segalanya kepada sang Pencipta, dia yakin Allah memiliki rencana yang terbaik untuknya.

Ibu dari pemuda itu kini berdoa dengan doa yang berbeda dari sebelumnya. "Ya Rabb, aku tau Engkaulah yang Maha mengetahui apa-apa yang terbaik untuk kami. Ya Allah ya Tuhanku, Jikalah ini jalan yang harus aku dan anak-anakku jalani, maka berikanlah kami hati sekuat baja yang dilebur oleh api untuk menjadi sebuah pedang. Sesabar mutiara yang terus menerus dimasuki pasir hingga akhirnya menjadi mutiara yang indah. Cukuplah ketaqwaan dan kesabaran menjadi harta kami. Jadikanlah ini sebagai jalan menuju keridhaanMu ya Rabb...."

“Ketahuilah sesungguhnya kemenangan menyertai kesabaran dan sesungguhnya kesenangan menyertai kesusahan dan kesulitan”,

Allah akan menguji setiap manusia dengan sedikit kesusahan dan kebahagiaan, kesusahan dan kebahagiaan bisa menjadi suatu ujian yang menghasilkan nilai baik pada Rapor kita atau menjadi nilai merah pada Rapor kita, kesusahan dan kebahagiaan bisa menjadikan kita lebih dekat denganNya, atau bisa menjadikan kita lebih jauh denganNya.

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ


“Sungguh Kami pasti memberi cobaan kepada kamu sekalian dengan sesuatu berupa rasa takut, kelaparan, berkurangnya harta, jiwa dan buah-buahan. Dan gembirakanlah orang-orang yang bersabar, yaitu mereka yang bila ditimpa musibah, mereka berkata : ‘Sungguh kami semua adalah milik Allah dan sungguh hanya kepada-Nyalah kami kembali’. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan limpahan karunia dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang terpimpin”. (QS. 2 : 155-157)

Bagaimanapun keadaan kita mintalah pertolongan kepada Allah. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Jika kamu minta, mintalah kepada Allah. Jika kamu minta tolong, mintalah tolong juga kepada Allah”, memberikan petunjuk supaya bertawakkal kepada Allah, tidak bertuhan kepada selain-Nya, tidak menggantungkan nasibnya kepada siapa pun baik sedikit ataupun banyak.

Pemuda itu yakin bahwa Allah sedang berbicara langsung dengannya mengenai ilmu sabar dan tawaqal, Ibu tersebut yakin bahwa Allah selalu bersamaNya, dia yakin bahwa Allah memiliki rencana yang hebat dalam skenario kehidupannya.

Seperti dalam film sang pemimpi, dua orang guru yang memberikan cara didikan yang berbeda, yang satu memberikan pendidikan dengan cara yang halus, memberikan impian-impian bahwa kita bisa melakukan apa saja asal ada tekad dan kemauan yang keras dan guru yang satunya memberikan didikan yang sangat keras kepada murid-muridnya, tiada lain maksudnya adalah untuk mengajarkan kepada anak-anaknya bahwa untuk mengejar mimpi-mimpi itu tidak mudah, banyak rintangan dan godaan yang menghadang.

Harus memiliki jiwa yang kuat dan pemberani, tidak mudah menyerah dan memiliki semangat yang luar biasa. Namun, kita juga harus siap ketika mimpi itu tak tercapai. Iringilah selalu dengan keimanan dan ketaqwaan dalam meraih sesuatu, yakinlah bahwa setiap ujian yang datang adalah proses ??? menjadi lebih baik, dan terkahir serahkanlah semuanya kepada Sang Pencipta dengan keikhlasan dan kerendahan hati. Semoga tulisan ini bermanfaat dalam kehidupan anda.

percikan iman.org

Senin, 19 April 2010

Hadist Sebuah Istiqomah


Dari Abu Amr atauanak-dan-Alqur'an Abu Amrah ra; Sufyan bin Abdullah Atsaqafi r.a. berkata, Aku berkata, Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku dalam Islam satu perkataan yang aku tidak akan menanyakannya kepada seorangpun selain padamu. Rasulullah menjawab, “Katakanlah, saya beriman kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim)

Tarjamatur Rawi

Sufyan bin Abdillah Al-Tsaqofi. Nama lengkapnya adalah Sufyan bin Abdillah bin Rabi’ah bin Al-Harits, Abu Amru atau Abu Amrah Al-Tsaqofi. Merupakan salah seorang sahabat Rasulullah saw. Beliau tinggal di Tha’if. Selain mengambil hadits dari Rasulullah saw., beliau juga meriwayatkan hadits dari Umar bin Khatab. Beliau pernah menjadi ‘Amil Umar bin Khatab di Tha’if.

Secara umum, hadits ini memiliki rangkaian sanad yang muttasil dan keseluruhan sanadnya tsiqah, kecuali Hisyam bin Urwah yang dikatakan tsiqah rubbama dallasa (tisqah namun terkadang mentadliskan hadits). Meskipun ulama hadits juga sepakat bahwa beliau merupakan Imam Faqih. Bahkan Imam Abu Hatim Al-Razi sampai mengatakan ‘Ma Ra’aitu Ahfafz Minhu’ (Aku tidak melihat ada orang yang lebih hafidz dari padanya). Dan kendatipun sebagian tidak menerima beliau sebagai perawi yang tsiqah, namun sesungguhnya pada posisi beliau dikuatkan pula melalui jalur sanad yang lain, yaitu oleh Imam Muhammad bin Muslim Al-Zuhri, dan juga melalui jalur Ya’la bin Atha’ Al-Amiri, yang semua sepakat dengan ketsiqahannya.

Gambaran Umum Tentang Hadits Ini

Dilihat dari isi kandungannya, hadits ini menggabungkan dua pokok permasalahan besar dalam Islam, yaitu Iman dan Istiqamah. Iman merupakan implementasi dari tauhid yang merupakan inti ajaran Islam, sedangkan istiqamah merupakan implementasi dari pengamalan aspek-aspek tauhid dalam kehidupan nyata. Dan kedua hal tersebut terangkum dalam hadits singkat ini, melalui pertanyaan seorang sahabat kepada Rasulullah saw.

Makna Hadits Ini

Dari pertanyaan sahabat di atas, yaitu Sufyan bin Abdillah Al-Tsaqafi r.a. tersirat bahwa iman dan istiqamah memiiki urgensitas yang tidak dapat digantikan dengan nilai-nilai lainnya dalam kehidupan. Ini terlihat dari pertanyaan beliau kepada rasulullah saw., ‘Wahai Rasulullah, katakanlah padaku satu perkataan yang aku tidak perlu lagi bertanya pada orang lain selain padamu.’ Kemudian rasulullah saw. menjawabnya dengan dua hal yang terangkai menjadi satu: istiqamah dan iman.

Dua hal ini merupakan aspek yang sangat penting dalam keislaman seseorang. Karena Iman (sebagaimana digambarkan di atas) merupakan pondasi keislaman seseorang bagaimanapun ia. Tanpa Iman semua amal manusia akan hilang sia-sia. Sehingga tidak mungkin istiqamah tegak tanpa adanya nilai-nilai keimanan. Penggambaran Rasulullah saw. dalam hadits ini, seiring sejalan sekaligus menguatkan firman Allah swt. dalam Al-Qur’an tentang istiqamah (QS. Fusshilat/ 41 : 30).

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqomah), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”

Hakekat Istiqamah

Ditinjau dari segi asal katanya, istiqamah merupakan bentuk mashdar (baca; infinitif) dari kata istaqama yang berarti tegak dan lurus. Sedangkan dari segi istilahnya dan substansinya, digambarkan sebagai berikut :

Abu Bakar al-Shiddiq.

Suatu ketika orang yang paling besar keistiqamahannya ditanya oleh seseorang tentang istiqamah. Abu Bakar menjawab, ‘istiqamah adalah bahwa engkau tidak menyekutukan Allah terhadap sesuatu apapun. (Al-Jauziyah, tt: 331).

Mengenai hal ini, Ibnu Qayim Al-Jauzi mengomentari, bahwa Abu Bakar menggambarkan istiqamah dalam bentuk tauhidullah (mengesakan Allah swt.). Karena seseorang yang dapat istiqamah dalam pijakan tauhid, insya Allah ia akan dapat istiqamah dalam segala hal di atas jalan yang lurus. Ia pun akan beristiqamah dalam segala aktivitas dan segala kondisi. (Al-Jauziyah, tt : 331)

Umar bin Khatab.

Umar bin Khatab pernah mengatakan: Istiqamah adalah bahwa engkau senantiasa lurus (baca; konsisten) dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, serta tidak menyimpang seperti menyimpangnya rubah. (Al-Jauziyah, tt : 331)

Usman bin Affan.

Beliau mengatakan mengenai istiqamah, “Beristiqamahlah kalian yaitu ikhlaskanlah amal kalian hanya kepada Allah swt.”

Al-Hasan (Hasan al-Bashri)

Beliau mengemukakan, “Istiqamahlah kalian melaksanakan perintah Allah, dengan beramal untuk mentaati-Nya dan menjauhi berbuat kemaksiatan pada-Nya.” (Al-Jauzi, tt : 331)

Ibnu Taimiyah

Beliau mengatakan, “Isttiqmahlah kalian dalam mahabah (kepada Allah) dan dalam berubudiyah kepada-Nya. Dan jangalah menoleh dari-Nya (berpaling walau sesaat) baik ke kanan ataupun ke kiri.” (Al-Jauzi, tt : 332)

Ibnu Rajab Al-Hambali

Beliau mengemukakan bahwa istiqomah adalah menempuh jalan yang lurus, tanpa belok ke kiri dan ke kanan, tercakup di dalamnya ketaatan yang tampak maupun yang tidak tampak, serta meninggalkan larangan.

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istiqomah adalah implementasi dari nilai-nilai keimanan kepada Allah secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari baik secara lahiriyah maupun bathiniyah. Sehingga jika diimplemenatasikan dalam kehidupan dakwah kontemporer; seorang kader yang istiqomah, ia akan tetap konsisten menekuni jalan da’wah, apapun resiko dan konsekuensi yang harus dihadapinya. Seorang pejuang dakwah di parlemen yang istiqamah misalnya, akan senantiasa memperjuangkan ‘panji-panji’ dakwah, dengan segala kekuatan dan kemampuan yang dimilikinya, tanpa ragu dan bimbang serta tidak tergoda dengan segala godaan duniawi. Dan seorang al-akh yang istiqomah adalah al-akh yang ‘berani’ untuk tetap konsisten memperjuangkan ideologi dakwahnya yang benar, meskipun bertentangan dengan rekan-rekannya yang mungkin lebih senior, lebih struktural ataupun lebih ‘besar’ dalam pandangan manusia.

Adalah Imam Ahmad bin Hambal, yang dikenal sebagai imamnya ahlus sunnah berani mempertahankan keyakinannya mengemukakan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah. Beliau menolak ‘kemakhlukan Qur’an’ sebagaimana yang dipropagandakan Mu’tazilah melalui jalur penguasa. Imam Ahmad tetap konsisten, meskipun berbagai siksaan menghujani beliau tanpa mengenal rasa kasihan. Dan yang lebih ironis adalah siksaan dilakukan oleh institusi struktural kekhalifahan yang resmi. Namun beliau tetap menjalaninya dengan penuh ketabahan dan keihlasan kepada Allah swt. Inilah salah satu contoh bentuk keistiqamahan.

Antara Istiqamah dan Istighfar

Terkadang muncul dalam persepsi bahwa orang yang istiqamah adalah orang yang konsisten dalam kebenaran dan tidak pernah sekalipun terjerumus dalam lubang kenistaan. Padalah sesungguhnya manusia tetaplah manusia, kendatipun takwanya ia. Ia pasti pernah berbuat kekeliruan ataupun kesalahan. Oleh karenanya, untuk mengclearkan masalah ini, dalam salah satu ayat-Nya di dalam Al-Qur’an, Allah swt. menggandeng antara istiqamah dengan istighfar kepada Allah swt., yaitu sebagaimana yang terdapat dalam QS. Fushilat/ 41 : 6 :

“Katakanlah: ‘Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan (Nya).”

Ayat di atas menggambarkan, bahwa setiap insan pasti pernah melakukan satu kelalaian atau kesalahan, tanpa terkecuali siapapun dia. Oleh karenanya, seorang muslim yang baik adalah yang senantiasa introspeksi diri terhadap segala kekurangan dan kesalahan-kesalahannya, untuk kemudian berusaha memperbaikinya dengan terlebih dahulu beristighfar dan bertaubat memohon ampunan kepada Allah swt.

Terlebih ketika mengarungi jalan dakwah yang penuh lubang dan duri, serta masafah (baca ; jarak tempuh) yang seolah bagaikan lautan tiada bertepi. Di sana banyak manusia-manusia yang beragam asal-usulnya, berbeda latar belakangnya; baik dalam keilmuan, pengalaman, cara pandang dan lain sebagainya. Tentulah hal ini memerlukan keistiqamahan dalam mengarunginya. Karena benturan, perbedaan ataupun kesilapan diantara sesama aktivis dakwah pasti terjadi.

Mustahil jika manusia sebanyak itu tidak pernah saling salah paham. Sedangkan suami istri yang telah diikat dengan kalimatullah, hidup bersama siang dan malam, pagi dan sore, masih memiliki perbedaan-perbedaan yang sulit dihindarkan. Apatah lagi, bagi sebuah kelompok besar yang masing-masing memiliki interest tersendiri. Namun yang lebih penting adalah, pasca kesalahan tersebut, apa yang ia perbuat kemudian? Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda, Dari Anas bin Malik ra, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Semua anak cucu adam berbuat kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang berbuat salah, adalah mereka-mereka yang bertaubat.” (HR.Tirmidzi)

Para ulama mengemukakan bahwa proses perbaikan diri dari kesalahan dan kekeliruan yang diperbuat, adalah juga bagian yang tak terpisahkan dari istiqomah itu sendiri. (Al-Bugha, 1993 : 175).

Buah Istiqamah

Istiqamah memiliki beberapa keutamaan yang tidak dimiliki oleh sifat-sifat lain dalam Islam. Diantara keutamaan istiqamah adalah :

1. Istiqamah merupakan jalan menuju ke surga. “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (QS. 41 : 30)

2. Berdasarkan ayat di atas, istiqamah merupakan satu bentuk sifat atau perbuatan yang dapat mendatangkan ta’yiid (baca ; pertolongan dan dukungan) dari para malaikat.

3. Istiqamah merupakan amalan yang paling dicintai oleh Allah swt.
Dalam sebuah hadits digambarkan : Dari Aisyah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Berbuat sesuatu yang tepat dan benarlah kalian (maksudnya; istiqamahlah dalam amal dan berkatalah yang benar/jujur) dan mendekatlah kalian (mendekati amalan istiqamah dalam amal dan jujur dalam berkata). Dan ketahuilah, bahwa siapapun diantara kalian tidak akan bisa masuk surga dengan amalnya. Dan amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang langgeng (terus menerus) meskipun sedikit. (HR. Bukhari)

4. Berdasarkan hadits di atas, kita juga diperintahkan untuk senantiasa beristiqamah. Ini artinya bahwa Istiqamah merupakan pengamalan dari sunnah Rasulullah saw.

5. Istiqamah merupakan ciri mendasar orang mukmin.
Dalam sebuah riwayat digambarkan: Dari Tsauban ra, Rasulullah saw. bersabda, ‘istiqamahlah kalian, dan janganlah kalian menghitung-hitung. Dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shalat. Dan tidak ada yang dapat menjaga wudhu’ (baca; istiqamah dalam whudu’, kecuali orang mukmin.) (HR. Ibnu Majah)
Cara untuk Merealisasikan Istiqamah

Setelah kita memahami mengenai istiqamah secara singkat, tinggallah kenyataan yang ada dalam diri kita semua. Yaitu, kita semua barangkali masih jauh dari sifat istiqamah ini. Kita masih belum mampu merealisasikannya dalam kehidupan nyata dengan berbagai dimensinya. Oleh karena itulah, perlu kiranya kita semua mencoba untuk merealisasikan sifat ini. Berikut adalah beberapa kiat dalam mewujudkan sikap istiqamah:

1. Mengikhlaskan niat semata-mata hanya mengharap Allah dan karena Allah swt. Ketika beramal, tiada yang hadir dalam jiwa dan pikiran kita selain hanya Allah dan Allah. Karena keikhlasan merupakan pijakan dasar dalam bertawakal kepada Allah. Tidak mungkin seseorang akan bertawakal, tanpa diiringi rasa ikhlas.

2. Bertahap dalam beramal. Dalam artian, ketika menjalankan suatu ibadah, kita hendaknya memulai dari sesuatu yang kecil namun rutin. Bahkan sifat kerutinan ini jika dipandang perlu, harus bersifat sedikit dipaksakan. Sehingga akan terwujud sebuah amalan yang rutin meskipun sedikit. Kerutinan inilah yang insya Allah menjadi cikal bakalnya keistiqamahan. Seperti dalam bertilawah Al-Qur’an, dalam qiyamul lail dan lain sebagainya; hendaknya dimulai dari sedikit demi sedikit, kemudian ditingkatkan menjadi lebih baik lagi.

3. Diperlukan adanya kesabaran. Karena untuk melakukan suatu amalan yang bersifat kontinyu dan rutin, memang merupakan amalan yang berat. Karena kadangkala sebagai seorang insan, kita terkadang dihinggapi rasa giat dan kadang rasa malas. Oleh karenanya diperlukan kesabaran dalam menghilangkan rasa malas ini, guna menjalankan ibadah atau amalan yang akan diistiqamahi.

4. Istiqamah tidak dapat direalisasikan melainkan dengan berpegang teguh terhadap ajaran Allah swt. Allah berfirman (QS. 3 : 101) :”Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”

5. Istiqamah juga sangat terkait erat dengan tauhidullah. Oleh karenanya dalam beristiqamah seseorang benar-benar harus mentauhidkan Allah dari segala sesuatu apapun yang di muka bumi ini. Karena mustahil istiqamah direalisasikan, bila dibarengi dengan fenomena kemusyrikan, meskipun hanya fenomena yang sangat kecil dari kemusyrikan tersebut, seperti riya. Menghilangkan sifat riya’ dalam diri kita merupakan bentuk istiqamah dalam keikhlasan.

6. Istiqamah juga akan dapat terealisasikan, jika kita memahami hikmah atau hakekat dari ibadah ataupun amalan yang kita lakukan tersebut. Sehingga ibadah tersebut terasa nikmat kita lakukan. Demikian juga sebaliknya, jika kita merasakan ‘kehampaan’ atau ‘kegersangan’ dari amalan yang kita lakukan, tentu hal ini menjadikan kita mudah jenuh dan meninggalkan ibadah tersebut.

7. Istiqamah juga akan sangat terbantu dengan adanya amal jama’i. Karena dengan kebersamaan dalam beramal islami, akan lebih membantu dan mempermudah hal apapun yang akan kita lakukan. Jika kita salah, tentu ada yang menegur. Jika kita lalai, tentu yang lain ada yang mengnigatkan. Berbeda dengan ketika kita seorang diri. Ditambah lagi, nuansa atau suasana beraktivitas secara bersama memberikan ‘sesuatu yang berbeda’ yang tidak akan kita rasakan ketika beramal seorang diri.

8. Memperbanyak membaca dan mengupas mengenai keistiqamahan para salafuna shaleh dalam meniti jalan hidupnya, kendatipun berbagai cobaan dan ujian yang sangat berat menimpa mereka. Jusrtru mereka merasakan kenikmatan dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan cobaan tersebut.

9. Memperbanyak berdoa kepada Allah, agar kita semua dianugerahi sifat istiqamah. Karena kendatipun usaha kita, namun jika Allah tidak mengizinkannya, tentulah hal tersebut tidak akan pernah terwujud.

Hikmah Tarbawiyah

Hadits di atas memiliki hikmah tarbawiyah yang patut untuk dicermati dan diajadikan pelajaran bagi aktivis dakwah masa kini. Diantara hikmahnya adalah:

1. Antusias sahabat dalam “menimba ilmu” dari Rasulullah saw., terutama mengenai hal yang terkait dengan kebahagiaan hakiki di kemudian hari bagi mereka sendiri. Bahkan sahabat tidak segan-segan menggunakan bahasa pertanyaan yang sangat spesifik, yang seolah jawabannya tidak dimiliki oleh siapapun kecuali hanya dari Rasulullah saw.

2. Jawaban yang diberikan Rasulullah saw. kepada sahabat yang bertanya padanya, merupakan jawaban yang singkat, padat, mudah dimengerti serta tidak menggunakan bahasa yang rumit dan sukar dipahami. Hal ini sekaligus memberikan pelajaran bagi para aktivis dakwah, bahwa hendaknya dalam memberikan arahan kepada audiens dakwah, menggunakan bahasa yang sesuai dengan kadar kemampuan mereka, serta jelas dari segi poin-poinnya.

3. Dari segi isi haditsnya, dapat ditarik satu kesimpulan yaitu bahwa sesungguhnya tidak dapat dipisahkan antara iman dan istiqamah. Karena konsekwensi iman adalah istiqomah. Sedangkan istiqomah merupakan keharusan dari adanya keimanan kepada Allah swt. Oleh karenanya dalam keseharian, seorang akh cukup dengan hanya penempaan keimanan melalui sarana-sarana tarbiyah dan ia dapat “bagus” di dalamnya. Hendaknya seorang al-akh juga harus tetap istiqamah kendatipun berada di luar majlis tarbiyahnya. Seperti ketika sedang berbisnis, ia harus “istiqamah” menjaga nilai-nilai tarbawi yang telah didapatnya dalam halaqah, ketika melakukan transaksi bisnis, baik dengan sesama ikhwah maupun dengan pihak lain. Demikian juga dalam aspek-aspek yang lainnya, seperti ketika berpolitik juga harus senantiasa istiqamah dalam implementasinya, kendatipun terdapat perbedaan yang sangat tajam antara lingkungan tarbawi dengan lingkungan siyasi.

4. Namun walau bagaimanapun juga, se-shaleh – shalehnya seorang yang shaleh, ia juga tetap merupakan seorang manusia biasa yang tentunya tidak akan luput dari noda dan dosa. Ketika berinteraksi mengamalkan nilai-nilai tarbawi di “dunia lain”, tentunya banyak lobang menganga yang siap “menelan” langkah-langkah kaki kita. Seperti salah dalam bertindak, sifat emosi dan marah, salah memberikan kebijakan dan lain sebagainya. Namun jika semua kesalahan tersebut “diakui” serta kemudian diperbaiki, maka insya Allah, hal ini merupakan bagian dari istiqamah. Namun sebaliknya, jika kesalahan tersebut semakin menyeretnya pada jurang kemurkaan Allah SWT, maka tentunya ia akan semakin terperosok dalam lembah kenistaan yang mendalam.

5. Istiqamah merupakan satu bentuk “proses pembelajaran” yang harus senantasa dilakukan oleh setiap al-akh. Karena hidup merupakan proses pembelajaran, menuju keridhaan Allah swt. Dan salah satu ciri dari pembelajaran adalah adanya kekeliruan. Dan dengan kekeliruan inilah, kita berupaya memperbaiki diri. Tanpa kesalahan, tidak akan pernah ada keberhasilan.

6. Istiqamah merupakan bentuk “manajemen” diri yang sangat baik dan disarankan oleh berbagai ahli menejemen. Karena istiqomah adalah implementasi dari emotional controlling yang terdapat dalam diri seseorang. Dan paradigma yang populer sekarang ini adalah bahwa kunci keberhasilan yang paling besar adalah dengan kontrol emosi. Seseorang yang memiliki kontrol emosi yang baik, maka prosentase keberhasilannya akan lebih besar, dibandingkan dengan orang yang memiliki kecerdasan intelektual sekalipun.

7. Istiqamah sangat diperlukan, terutama bagi “bekal” dari panjangnya perjalanan dakwah. Ibarat orang yang lari maraton 10 km, maka ia tidak boleh berlari sprint pada 100 m awal, kemudian setelah itu ia kelelahan.

Oleh: Rikza Maulan, M.Ag
kebun hikmah.com



عَنْ أَبِي عَمْرو، وَقِيْلَ : أَبِي عَمْرَةَ سُفْيَانُ بْنِ عَبْدِ اللهِ الثَّقَفِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِي فِي اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَداً غَيْرَكَ . قَالَ : قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ

[رواه مسلم]

Terjemah hadits / ترجمة الحديث :

Dari Abu Amr, -ada juga yang mengatakan- Abu ‘Amrah, Suufyan bin Abdillah Ats Tsaqofi radhiallahuanhu dia berkata, saya berkata : Wahai Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, katakan kepada saya tentang Islam sebuah perkataan yang tidak saya tanyakan kepada seorangpun selainmu. Beliau bersabda: Katakanlah: saya beriman kepada Allah, kemudian berpegang teguhlah.

(Riwayat Muslim).