Selasa, 28 September 2010

Encouragement

Encouragement
Oleh: Rhenald Kasali *

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah
tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.

Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah
diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal
dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia
tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan
kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya
sangat sederhana.

Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya karangan itulah
yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah
dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan
kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak
saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya
bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?” “Dari Indonesia,” jawab saya. Dia pun
tersenyum.

Budaya Menghukum

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah
saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. “Saya
mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik
itu.

“Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anakanaknya dididik di
sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi
kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang
agar maju. Encouragement!” Dia pun melanjutkan argumentasinya.

“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbedabeda. Namun untuk anak
sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris,
saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan
berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur
prestasi orang lain menurut ukuran kita.Saya teringat betapa mudahnya saya
menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga
doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik
ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian
program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap.
Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan
penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan
begitu mereka tahu jawabannya.

Mereka menunjukkan grafikgrafik yang saya buat dan menerangkan
seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji,
menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.
Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan.
Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang
duduk di bangku ujian.

Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan,
penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakanakan
kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang
luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat
saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan
discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan
pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata
belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.

Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru
di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana
mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah
Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan
karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke
pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya.

“Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang
sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat
dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya
tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk
bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia
mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang
berarti.

Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup
keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi
penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yang
berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya
melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

Melahirkan Kehebatan

Bisakah kita mencetak orangorang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan
rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta
ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan
penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,sundutan rokok, dan
seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...;
Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas
kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih
disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan
mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan
otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau
sebaliknya,dapat tumbuh.Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan
(dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian
kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering
saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh. Mari
kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau
ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi
ancaman yang menakut-nakuti. (*)

*) Rhenald Kasali, Ketua Program MM UI